Tiada Tuhan Yang Disembah Melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu Persuruh Allah

Tiada Tuhan Yang Disembah Melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu Persuruh Allah
Tiada Tuhan Yang Disembah Melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu Persuruh Allah

Friday, January 15, 2010

Benarkah Nabi Muhammad Manusia Biasa?

Apakah Nabi saw hanya manusia biasa tidak ubah-nya seperti kita-kita? Demikian, mungkin keyakinan sebagian pihak. Biasanya mereka mengajukan ayat: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan tunjangan ayat-ayat senada, semisal “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?” Kelompok ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, dapat membuat kesalahan, kekeliruan, bahkan mungkin, na’udzubillah, pelanggaran. Oleh karena itu kelompok ini menuding para pemuja Nabi saw telah berlaku berlebih-lebihan dan pengkultusan yang tidak perlu. Benarkah demikian? Untuk itu kita harus melihatnya dari berbagai sisi.


Pertama, sejauh mana al-Quran mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw, apakah hanya sebagai manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, atau sebagai manusia yang luar biasa, yang tidak dapat disamakan dengan manusia umum, bahkan dengan malaikat sekalipun?


Jika kita telusuri dengan seksama ayat-ayat yang menyinggung tentang Nabi saw atau malah riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut pandangan kedua dan menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw memang bukan manusia biasa. Ia adalah manusia utama, “superman” yang telah berhasil melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya. Katakanlah insân kamîl. Tapi mengapa masih ada yang memandang Nabi saw sebagai manusia biasa? Kita akan melihatnya.


Kedua, apa yang dimaksud bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa kedudukannya di mata Allah sama dengan manusia lainnya? Saya kira kelompok penolak pemujaan kepada Nabi pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul dan memiliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Tapi mengapa mereka menganggap bahwa Nabi tidak ubahnya seperti manusia lain yang dapat lupa, salah, atau keliru? Kita coba mengkajinya.


Ketiga, bagaimana kita harus menyikapi Nabi Muhammad saw? Di satu sisi, ia adalah Nabi dengan kemuliaan yang tiada tara, tapi di sisi lain al-Quran menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Kita akan sampai ke pembahasan ini setelah kita melewati pembahasan pertama dan kedua.

Kedudukan Nabi dalam al-Quran

Seperti yang telah kita singgung di atas, kedudukan Nabi Muhammad saw dalam al-Quran sungguh luar biasa. Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuja Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur.

Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi. Berikut beberapa contoh keagungan Rasulullah sebagaimana dalam al-Quran.

Pertama, keimanan semua rasul kepada Nabi Muhammad SAW.

Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw berkata:

Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan ber-iman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama.


Untuk hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. 3:81:

Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.”


Kedua, kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul Kitab tahu betul tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya:

Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijak-sana (QS. 2:129).


Ketiga, penciptaan Nabi Muhammad saw sebelum Nabi Adam as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nûr” atau cahaya. Ketika Allah mencip-takan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi. Ibnu Abbas meriwayatkan:

Rasulullah saw bersabda:

Allah telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib.


Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfirman:

Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS. 26:217-219).


Keempat, Nabi Muhammad saw adalah manusia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw dengan yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33:

Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.

Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri.

Kelima, Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.


Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan semuanya semata-mata adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. 53:3-4).


Keenam, Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)

Ketujuh, dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:

Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki (QS. 72: 26-27).

Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini.


Kedelapan, Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai pujian karena keluhuran akhlak-nya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4).


Kesembilan, siapa saja yang berhadapan dengan Nabi Muhammad saw maka berhadapan dengan Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya. Firman Allah (QS. 9:61). Pada kesempatan lain, Allah bahkan mengancam kedua istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Hafsah, karena mengkhianatinya dalam soal rahasia yang disampaikannya kepada mereka. Jika mereka tidak tobat dan masih melawan Rasulullah, maka Allah sendiri yang akan menghadapi mereka (QS. 66:4).


Kesepuluh, Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepadanya (QS. 33:56). Arti shala-wat Allah kepada Nabi adalah penganugrahan rahmat dan kasih sayang-Nya; shalawat malaikat adalah permohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shalawat orang-orang beriman.


Kesebelas, orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasulullah sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasul ha-rus dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).


Kedua belas, Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi saw. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah wewenang memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk umatnya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya.


Ketiga belas, Nabi saw ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara diri-Nya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa.

Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih (QS. 4:64).

Bahkan tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang salih jauh sebelum kelahirannya. Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatanya. Dalam permohonannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebesaran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu kiranya Engkau ampuni dosaku.”

Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?”

Adam berkata, “Tuhanku, ketika Engkau ciptakan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengangkatkan kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis

Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh. Aku tahu Engkau tidak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Engkau cintai.”


Allah Swt berkata, “Engkau benar, Adam. Muhammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.”


Nabi Sebagai Manusia Biasa

Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum menciptakan yang lainnya. Nabi telah dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia kedatangannya. Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.

Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Muhammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia. Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya untuk membantah alasan penolakan kaum musyrikin terhadap Nabi saw bahwa ia bukan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa yang menganggapnya sebagai Tuhan.


Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah ia wafat. Sama sekali tidak demikian. Kesucian, keterpeliharaan dari dosa, maksum, hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja dicapai oleh manusia manapun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi atau katakanlah maqam Insan Kamil. Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah, yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk manapun, termasuk malaikat. Yaitu jika melalui ruh itu ia mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkahkan kaki meskipun hanya setapak. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muhammad SAW telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani.


Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad di atas dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan, yaitu karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.


Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa para utusan itu hanya manusia seperti mereka, orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai nabi atau rasul.


Dan tidaklah menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka mengalaskan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia? (QS. 17:94).

Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimani-nya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).

Sikap kepada Nabi

Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, yaitu yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukannya, selain shalawat kepada Nabi? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Nabi dengan penuh takzim dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah kepadanya telah memutus hubungan silaturrahmi dengannya.


Pada ayat tawassul kita bahkan diperingatkan Allah jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita, sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkannya lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah.

Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya (QS. 53:3-4).


Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kita. Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri? Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah menzalimi beliau.

Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya (QS. 33:57).


Sebagai penutup renungkan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi saw di bawah ini. ‘Abdullah bin Amr berkata:

Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini kecuali kebenaran.” Camkan!

Umar Shahab

Dicatat oleh pakoz.com

13 comments:

  1. PESAN PENYUNTING

    Nama-nama Surat dalam Al-Qur’an, yang dalam bahasa Arab artinya buku atau bab. Surat Yasin, misalnya, maksudnya sama dengan buku atau kitab Yasin. Qur’an sendiri artinya adalah bacaan.

    Naskah yang sedang Anda baca ini adalah bentuk revisi dari tulisan asli karya Mohammad Al Ghazoli yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, salah satunya bahasa Inggris oleh Dr. R. Winston Mazakis. Karya Ghazoli (dan terjemahan Mazakis) mendeskripsikan arti dari bahasa Arab yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits sering kali tidak tampak dalam terjemahan Inggris. Kaum Muslim mengimani bahwa tidak ada satupun terjemahan Al-Qur’an yang dapat menjadi pegangan resmi; semua terjemahannya dinamakan sebagai “upaya menjelaskan” (interpretation).

    Saya telah menambahkan referensi tambahan yang telah mengkonfirmasikan sumber-sumber Al Ghazoli, dari Al-Qur’an[1], Hadits, Sunah

    - David W. Daniels -

    NB. Terjemahan kedalam bahasa Indonesia ini telah diringkas dari aslinya, hingga pasal yang kesepuluh, dengan beberapa catatan tambahan disetiap pasal guna menerangi. Dalam hal ada rujukan Hadits Shahih Bukhari tambahan dalam peringkasan ini, maka hal itu terambil dari terjemahan H.Zainuddin Hamidy cs, Volume I-IV, terbitan “Wijaya, Jakarta, edisi ke-13.

    ReplyDelete
  2. Pendahuluan Tentang "Saya"

    1. Rasul Allah atau Manusia yang Dirasulkan?

    2. Dua puluh tiga Kali Pernikahan Muhammad

    3. Sang Diktator, Raja Rasisme

    4. Terorisme dan Intimidasi dalam Islam

    4. Al-Qur'an Wahyu Allah atau Ciptaan Manusia?

    6. Yesus Kristus versus Muhammad

    7. Al-Masih dalam Al-Qur’an

    8. Salib dan Yang Tersalib

    9. Apakah Alkitab Diubah?

    10. Betapa Al-Qur’an Memutar-balikkan Alkitab

    Diperuntukkan bagi kedua saudari saya

    Bagi gereja kecil saya di sebelah selatan Chicago

    Bagi kenangan Almarhum ayah, meninggal sebagai Muslim di Mesir

    Bagi semua umat Muslim, secara khusus dunia Arab

    Bagi semua yang terhilang dan tersesat,

    Saya persembahkan buku ini dengan segala kerendahan hati

    Pendahuluan Tentang “Saya”

    Saya seorang pria yang telah kehilangan arah selama lebih dari empat puluh tahun, dan telah menenggelamkan diri dalam ketidak-pedulian mutlak, berjalan tanpa arah dan tujuan, dan dalam dosa. Saya adalah seorang bayi yang menanyakan dirinya, sebelum bertanya ke orang lain, mengenai arti dari eksistensi, kelahiran dan kematian.

    Saya adalah seseorang yang berjalan di jalan yang panjang, mencari kebenaran di semua sudut dan semua jalan. Siapa itu Musa, Yesus dan Muhammad! Akhirnya sampai kepada kesadaran yang mendalam, bahwa diri saya selama 40 tahun telah tertawan dalam sel kebanggaan pada sebuah penjara besar yang bernama ketidak-jelasan dalam agama bangsa saya.

    Saya telah menyelesaikan studi tingkat universitas, menerima gelar Master dalam Ekonomi dan Ilmu Politik di Mesir. Dan memulai menitih karier pada bisnis manajemen penerbitan di sebuah koran Arab. Dua tahun kemudian saya menjadi pemimpin editor, lalu bekerja selama lima tahun sebagai penasehat pers untuk seorang presiden Arab.

    Saya telah menulis lebih dari 2000 artikel yang diterbitkan di koran serta majalah Arab dan Islam, untuk berbagai agen pers Arab dan internasional.

    [2] dan tulisan lainnya, untuk mendokumentasikan penelitian sahihnya. Saya telah menambahkan pula catatan kaki yang memperjelas hal-hal yang mungkin sudah banyak diketahui oleh kaum Muslim pada umumnya, namun tidak diketahui oleh sebagian kecil lainnya.[3] Saya telah menerbitkan sepuluh buku mengenai ekonomi, sosiologi dan politik yang menjangkau pasar dunia Arab maupun internasional. Dan Sebagian telah diterjemahkan dalam tiga bahasa.[4] Sebagai seorang Muslim, Saya adalah salah seorang yang telah mengkritik Taurat dan Injil dalam lebih dari satu kuliah umum dan penelitian serta mengulangnya seperti seekor burung Beo bahwa Alkitab telah dirubah dan dipalsukan!

    Saya adalah seseorang yang pintunya diketok oleh seorang saudara yang mengatakan, “Apakah Anda telah membaca Al-Qur’an dan Hadits Muhammad secara mendalam?” Setelah membaca, saya justru terkena penyakit ”kepala intelektual” yang menyakitkan, kemudian berakibat pada penulisan buku saya yang terakhir, Lost Between Reason and Faith (“Tersesat antara Nalar dan Iman”, diterbitkan hanya dalam bahasa Arab). Akibatnya, saya menemukan diri saya di luar batas-batas agama selama lebih dari sepuluh tahun. Selama waktu tersebut, saya hanya melihat ke surga karena pada saat itu saya selalu yakin bahwa di surga terdapat Tuhan.

    Walaupun saya tersesat menurut ajaran Islam; ada seorang Kristen yang telah lahir baru meletakkan sebuah Alkitab di dalam tangan saya dan mengatakan: “Baca,” sama seperti yang telah dinyatakan bahwa sebuah ruh yang mengaku sebagai malakat “jibril” mengatakan kepada Muhammad di gurun Ghara. Saya membaca dan akhirnya awan-awan gelap menghilang dan terang matahari mulai memasuki hidup saya. Sebuah perjumpaan yang teramat berharga, seperti budak yang tersesat berjumpa dengan seorang tuan yang baik; domba yang tersesat menemukan seorang Gembala yang baik, yaitu Tuhan Yesus Kristus.

    ReplyDelete
  3. Bagaimana saya kemudian dapat mengenal Yesus Kristus sebagai Penyelamat dan Penebus saya? Perjumpaan saya secara pribadi dengan Yesus bukan sebuah kebetulan, karena saya telah berjalan sekian lama di jalan penuh duri; tetapi perjalanan saya dan pergulatan saya dengan iblis, jauh lebih lama. Perkenankan saya menjelaskan cerita saya dengan singkat; karena buku ini bukan mengenai kehidupan pribadi saya, tetapi lebih mengenai sebuah lilin yang ditujukan untuk menerangi jalan bagi mereka yang hidup dalam kegelapan dan hendak mencari cahaya kebenaran.

    ReplyDelete
  4. Allah Pembimbing dan Sekaligus Penyesat?

    Ketika saya duduk di kelas 1 SMP, guru agama kami, Mahmood Qasem, mengatakan bahwa “Allah membimbing siapapun yang dia inginkan” dan “Allah mensejahterakan siapapun yang dia inginkan tanpa batas.” Saya mempunyai hubungan yang sangat baik dengannya. Sayangnya, hal tersebut tidak berlangsung lama, karena suatu hari dia mengatakan di kelas: “Allah mensejahterakan siapapun yang dia kehendaki tanpa batas.”

    Kemudian dia mengkontradiksikan dirinya dengan mengutip ayat yang lain: “Carilah dengan rajin di tempat-tempat paling rendah dan makanlah makanannya, karena pada Dialah terdapat keputusan terakhir.” Ayat-ayat lain dari Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah menyesatkan siapapun yang dia inginkan.

    Kira-kira empat bulan kemudian, guru saya mengutip sesuatu yang mirip dengan yang sebelumnya, mengandung kontradiksi serupa. Dan saya kembali mempertanyakannya! Dan ia berjanji akan menjawab kemudian, tetapi sekali lagi ia tidak melakukannya. Sebaliknya ia malah memanggil ayah saya, dan mengatakan masalah saya kepadanya. Lantas sayapun mengutarakan pertanyaaan saya. “Ayah, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menyatakan bahwa Allah membimbing siapapun yang dia kehendaki dan menyesatkan siapapun yang dia kehendaki. Saya meyakini bahwa saya adalah salah satu dari mereka yang disesatkan oleh Allah.”

    Itulah awal dari keraguan saya. Keraguan terus bertambah, namun dalam kesibukan kehidupan bisnis saya, saya mencoba untuk melupakannya. Namun saya mempunyai terlalu banyak pertanyaan yang butuh jawaban. Karena itu, 18 tahun yang lalu, saya mulai membaca Al-Qur’an dan Hadits (tradisi dari Muhammad dan pengikutnya). Saya mempelajari dengan mendalam kegiatan Muhammad dan penerus-penerusnya.

    Setelah saya banyak membaca mengenai hal ini, lambat laun sebuah gambaran mulai tampak jelas. Saya menjadi yakin, bahwa Al-Qur’an adalah buku ciptaan manusia dan Muhammad bukan utusan Tuhan. Hubungan saya dengan agama telah berakhir dan saya tidak mempunyai ikatan dengan Islam, selain hidup dalam masyarakat Muslim. Saya berada dalam situasi yang pelik. Saya menyadari bahwa Islam bukanlah Kebenaran dan tidak mungkin merupakan Kebenaran. Tetapi dimanakah Kebenaran itu?

    Setelah mempelajari secara mendalam Al-Qur’an dan Hadits Muhammad serta penerusnya, sebuah gambaran aneh mengenai Islam terbentuk dalam kepala saya. Bagaimana bisa Muhammad menguasai pemikiran dari lebih dari satu milyar orang di dunia ini? Tidakkah mereka bisa berpikir? Tidakkah mereka membaca? Jawabannya ada dalam pengalaman Muslim, juga muncul pada saya saat ini: “Ketakutan terhadap yang menakutkan” adalah sebuah prinsip yang diformulasikan oleh Muhammad, untuk memimpin dan menguasai hati manusia melalui ketakutan. Tetapi apa yang ditunjukkan oleh prinsip ini? Saya hanya bisa memastikan bahwa Muhammad, anak dari Abdullah, adalah salah satu orang jenius terbesar dalam sejarah. Dia menggunakan kecerdasaannya untuk memformulasikan sebuah prinsip yang sederhana namun licik, yaitu menakuti manusia melalui sebuah agama!

    ReplyDelete
  5. Karena menghadapi kesulitan di Mekah, dia hijrah ke Medina dengan 30 orang, dan jumlah pengikutnya bertambah dua kali lipat di sana. Namun kesulitan mulai menghimpit. Dimana dia bisa mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka? (Bagaimana dengan tempat tinggal, makan, dan pekerjaan?) Bagaimana membiayai pembangunan rumah-rumah baru setelah kematian Khadijah, lalu menikahi dua wanita dan membangun rumah bagi mereka? Enam bulan setelah kedatangannya di Medinah, rumahnya sudah bertambah menjadi lima.

    Merasa harus bertanggung jawab, Muhammad ternyata memanfaatkan para pengikutnya untuk merampok suku-suku dan karavan yang berangkat dari Damaskus ke Mekah. Dia merampok karavan-karavan, dan membunuh siapa pun yang mencoba melawannya [sambil membagi jarahan sebagai sebentuk kemurahan Tuhan]. Kegiatan ini menjadi cara termudah untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan. Semakin banyak dana yang tersedia, semakin banyak orang yang tergiur bergabung dengan kelompoknya. Tidak puas dengan perampokan karavan-karavan kecil, maka dia mulai merampok suku-suku dan desa yang lebih besar, kemudian beberapa kota. Dia mendistribusikan harta kekayaan hasil penjarahan kepada para pengikutnya, termasuk budak-budak dan wanitanya. Tidak ada batasan mengenai penyiksaan dan pembunuhan tawanan.

    *[Dengan cerdik Muhammad mengubah konsep “jihad” yang semula dipahami para pengikutnya sebagai usaha keras untuk mengukuhkan iman – seperti doa dan puasa – kini menjadi “berperang dijalan Allah” dengan cara menyerang musuh-musuh (kafir) secara fisik dan metodis, sekalipun yang diserang nota bene masih punya hubungan famili dengan penyerang. Dan itu berhasil karena dikaitkan dengan perintah wajib dari Allah. Surat 2:216]

    Dalam tiga tahun saja, Muhammad berhasil membentuk angkatan bersenjata sebesar 6.000 lebih di antara pengikutnya.

    Pengaruh Muhammad pun menjadi kuat dan jumlah istrinya bertambah menjadi sebelas, ditambah enam gundik, dimana dia melakukan hubungan intim dengan mereka. Dikatakan bahwa dia mempunyai sekitar dua ratus pembantu dan pelayan. Tugas dari seseorang pelayan bernama Abd Al-Lah bin Mas’ud adalah untuk menjaga sepatunya. Dia mendapatkan kekayaan cukup banyak untuk membentuk sebuah pasukan. Muhammad harus mengamankan kedudukannya, sehingga “Jibril” turun membawa ayat-ayat dari Allah, tuhannya Muhammad, sesuai dengan keperluannya, dengan mengatakan bahwa siapapun yang meninggalkan Islam harus ditumpahkan darahnya (Surat 4:89). Inilah ayat yang diturunkan sebagai perlindungan mutlaknya dan memberikan kepadanya semua hak yang ia inginkan dan menghapus semua kewajibannya: “Terimalah apapun yang ditugaskan oleh Rasul kepadamu dan sangkal lah dirimu terhadap apa yang dia larang bagimu.” (Surat 59:7). Muhammad meyakini bahwa siapapun yang memeluk Islam dan kemudian berpikiran untuk meninggalkannya, ia pantas mati. Sedangkan Allah mengharuskan semua Muslim untuk taat kepada perintah Muhammad tanpa syarat. Semua orang tunduk dan takut... namun setiap orang mempunyai kewajiban tanpa batas waktu dan tempat untuk membunuh sesama Muslim yang mencoba meninggalkan Islam. *[“Kapanpun kamu menjumpai mereka (Muslim yang murtad), bunuhlah mereka...”, HS Bukhari IX/64]

    Muhammad menanamkan filsafat “ketakutan terhadap yang menakutkan” dalam hati pengikut-pengikut sucinya. Kaum Muslim bertambah (dalam jumlah dan garangnya), namun meninggalkannya berarti kematian, bahkan tidak terkecuali di tangan kerabat dan teman terdekatnya. Jika tidak, mereka akan sangat dipermalukan.

    ReplyDelete
  6. Banyak orang memperingatkan saya untuk tidak mengumumkan keimanan saya. Tetapi jawaban saya selalu adalah: Saya berurusan dengan Tuhan yang sesungguhnya, yang namanya adalah Yesus Kristus, dan Alkitab menjamin saya:

    “Sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk. Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung, kesetiaan-Nya ialah perisai dan pagar tembok. Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang.” (Mazmur 91: 3-5)

    ReplyDelete
  7. Pertemuan

    Setelah sekian lama menjadi Muslim yang tidak peduli di luar agama Muhamad, dan ketika Setan yakin bahwa saya tidak akan kembali ke agamanya. Dia mulai menteror dan menyerang saya. Pertama-tama dengan merampas harta kekayaan saya, kemudian dengan menghancurkan semua yang saya telah bangun. Mereka menyerang kesehatan saya hingga saya berada di titik hampir mati. Saya menghabiskan kebanyakan waktu saya di rumah sakit. Tak lama kemudian saya kehilangan uang dan nama baik saya.

    Di tengah-tengah kezaliman ini, seorang nyonya menelepon saya dan mengatakan “Saya ingin bertemu dengan Anda.” Saya sungguh-sungguh tidak ingin menanggapinya. Namun dia kemudian menelepon lagi, dan kali ini saya memilih untuk menemuinya, walaupun saya teramat letih dan tubuh saya sedang sakit. Ketika saya menemuinya, dia meletakkan sebuah Alkitab di tangan saya. Saya membukanya secara acak dan hal pertama yang muncul di depan mata saya: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28). Saya terus membaca. Mengapa saya tidak pernah melihat buku ini, saat saya telah membaca ratusan buku? “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5: 44) Kata-kata indah ini tidak mungkin keluar dari mulut seorang manusia biasa, kecuali dari Tuhan yang Agung yang menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati. Hebatnya lagi, Tuhan Yesus yang penuh kasih ini mengatakan: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup!” (Yohanes 14: 6)

    Ya, saya menyerahkan jiwa saya kepada-Nya dan lihat ...! semuanya berubah. Semuanya dipulihkan secara bertahap kembali normal. Sepertinya saya memasuki sebuah lembah yang berbeda…sebuah lembah yang hijau permai. Saya merasakan suka cita, kedamaian dan kasih-Nya.

    Sekarang saya hidup di dalam tangan Tuhan saya. Saya tidak puas hanya dengan bertemu Dia, memuji nama-Nya dan berdoa kepada-Nya. Adalah kewajiban saya kepada keluarga dan rakyat saya untuk menghantarkan mereka kepada Kebenaran lewat kesaksian tulisan ini:

    ReplyDelete
  8. Al-Masih (Kristus Yesus), Muhammad dan Saya

    Saya harap Anda membacanya, karena di dalamnya, Anda akan menemukan penyembuhan untuk jiwa Anda dan mengerti bagaimana Anda dapat kembali kepada Tuhan yang sesungguhnya. Saya mengundang Anda untuk membaca, memahami dan membandingkan. Semoga Tuhan memberkati Anda.

    1. Rasul Allah atau Manusia yang Dirasulkan?

    Muhammad anak yatim piatu sejak kecil. Ia diasuh oleh kakeknya. Setelah kematian kakeknya, pamannya Abu Talib menjadi walinya, dari umur 8 hingga 25 tahun. Dia kemudian menikahi Khadijah. Abu Talib masih hidup hingga tahun kesepuluh dari “siar kenabian” Muhammad. Dia dan anak-anaknya merupakan pendukung terbesar Muhammad. Namun kita harus bertanya mengapa Abu Talib, pamannya sendiri, tidak mengakui kenabian Muhammad hingga ajalnya? Ketika ajal menghampiri Abu Talib, Muhammad memasuki kamarnya, dimana Abu Jahl dan Abd Alla bin Umia juga berada. Muhammad berkata: “Paman, katakanlah, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.” Tetapi paman ini berkata, “Saya adalah pemeluk agama Abd Al-Muttalib (ayahnya).” Dia jelas menolak undangan Muhammad untuk memeluk Islam.

    Apakah Abu Talib, seorang Yahudi, Kristen atau kafir? Beberapa sarjana mengatakan dia adalah seorang pagan yang mengimani Manat dan Uzza, dewi-dewi pujaan Mekah. Yang lain mengatakan dia simpatisan Kristen yang mengimani Al Masih dan Alkitab, buktinya terdapat dalam pernyataannya: “Orang-orang terbaik mengetahui bahwa Kutum (panggilan untuk Muhammad) adalah pengikut dari Musa dan Al Masih anak Maryam.” Walau demikian, Abu Talib tetap menolak untuk mengakui Muhammad sebagai nabi dan terus memanggil dia dengan sebutan Kutum.

    Abu Jahl adalah paman kedua dari Muhammad, dikenal dengan nama Abu Al-Hakam,

    Muhammad telah mencapai umur 25 tahun, dan belum juga menikah, walaupun umur rata-rata bagi kaum pemuda untuk menikah adalah 18 tahun. Ketika seorang pemuda mencapai umur 20-an tanpa menikah, dia biasanya dipertanyakan! Mengapa Muhammad tidak menikah hingga berumur 25 tahun? Ya, paman dari Muhammad (Abu Talib) ini teramat miskin. Semasa itu, Muhammad tidak mempunyai sesuatu apapun yang dapat membantu dirinya untuk menikah. Karena alasan ini, Muhammad tidak dapat menikah hingga datangnya seorang janda berumur 40 tahun dengan banyak harta. Namanya adalah Khadijah bint Khuwailid, seorang janda sekte Kristen yang mendapatkan banyak warisan dari suaminya. Pada pernikahannya, Abu Talib, pamannya membuat pernyataannya yang terkenal: “Terpujilah Allah yang telah melepaskan kita dari kekhawatiran dan kesulitan.”

    Muhammad menikah setelah upacara kristiani dilaksanakan dalam salah satu biara. Dia tidak berani menikahi wanita lain selama Khadijah masih hidup, walaupun Khadijah hampir berumur 70 tahun pada saat kematiannya. Namun frustrasi serius muncul dalam diri Muhammad setelah kematian Khadijah, hingga dia menikahi dua gadis muda pada malam yang bersamaan: Aisha yang berumur sembilan tahun dan Sawdah bin Zam’ah yang berumur 27 tahun.

    ReplyDelete
  9. Panggilan Kenabian Muhammad

    Kapankah pewahyuannya mulai? Bagaimana Muhammad mengaku bahwa dirinya adalah nabi? Siapa yang mengatakan kepadanya bahwa dia adalah Rasul Allah untuk bangsa itu? Kisahnya dimulai di gua Hira ketika Muhammad bertapa hingga terlelap. Lalu datanglah satu sosok (ruh) yang memaksanya membaca sesuatu hingga 3 x sambil mencekiknya setiap kali ia (Muhammad) menjawab ”aku tak bisa membaca”. Apa komentar para ahli dan sarjana Muslim tentang kisah ini?

    Al-Halabi menulis

    *[Dan bagaimana Khadijah mampu memastikan hal-hal tentang ruh dan kenabian, sementara dia hanya seorang awam-agama dan pedagang, dan bahkan belum tahu Islam?]

    Al-Suyuti

    Mempelajari sejarah Muhammad menimbulkan banyak pertanyaan. Tidak dapatkah si pembawa wahyu turun kepadanya tanpa menimbulkan banyak masalah? Tidakkah si malaikat dapat meyakinkan Muhammad bahwa dia adalah Rasul Allah? Apakah dia tidak mampu meyakinkannya mengenai panggilannya? Bagaimana mungkin malah istrinya yang meyakinkan Muhammad daripada si malaikat yang diutus itu? Tidak dapatkah malaikat menghilangkan kebingungannya, sampai-sampai dia mengira malaikat itu adalah setan? Bukankah malaikat tersebut dapat dengan mudah membuktikan bahwa dirinya adalah malaikat Tuhan, jika dia memang benar-benar demikian? Disinipun kita sudah menemukan kejanggalan luar biasa!

    Tapi ada yang lebih janggal lagi: Bagaimana Muhammad dan Khadijah pada akhirnya yakin bahwa Muhammad adalah salah satu dari para nabi? [Sebuah testing yang berkonotasi sex dilakukan oleh Khadijah terhadap Ruh/ Jibril.]

    Ibn Hisham telah menulis:

    “Khadijah mengatakan kepada Muhammad, apakah engkau dapat mengatakan kepadaku tatkala kawan yang mengunjungimu (ruh/ Jibril) itu datang? Muhammad menjawab, ”Ya”. Ketika dia datang, Muhammad memberitahukan kepada Khadijah. Khadijah berkata lagi ”Apakah engkau melihatnya sekarang”? Muhammad menjawab, ”Ya”. Dia mengatakan, berbaliklah dan duduk di paha sebelah kananku. Muhammad pun melakukannya. Dia mengatakan kepadanya, ”apakah engkau masih dapat melihatnya”? Muhammad menjawab, ”Ya”. Khadija kecewa dan membuka kijabnya dan melemparkannya ke bawah, saat Muhammad sedang duduk di pangkuannya, Khadijah berkata kepada Muhammad: ”Apakah engkau masih dapat melihatnya”? Dan Muhammad menjawabnya, ”Tidak”. Khadijah berkata kepadanya: ”Yakin dan bersukacitalah, demi Allah, dia adalah malaikat dan bukan setan, karena setan tidak akan malu (dan menghilang jika wanita membuka baju), tidak seperti malaikat.”

    [12] [13] Ini adalah ujian dari Khadijah untuk memastikan bahwa Muhammad adalah seorang nabi, dan bayangan tersebut adalah malaikat, bukan setan. Masuk akalkah ini?!

    Semua nabi-nabi terdahulu tidak perlu diyakinkan mengenai wahyu dari Tuhan. Lalu mengapa cerita tersebut dibutuhkan untuk memastikan pemanggilan Muhammad sebagai nabi? Tidakkah Tuhan dapat memberikan semua pengetahuan tersebut kepada nabinya tanpa cerita-cerita dongeng yang aneh-aneh? Saya melihat keganjilan lainnya. Mengapa ruh yang diutus menurunkan wahyu itu harus mencekiknya hingga hampir mati, tiga kali? Cerita itu menimbulkan banyak pertanyaan dan keanehan.

    *[Dan lagi, sebetulnya apa perlunya penyampaian teks tersebut harus mati-matian dipaksa baca oleh Muhammad yang memang ummi itu? Bukankah Qur’an sendiri diyakini diturunkan dengan ayat-ayat yang “terang”, dengan “lidah Arab yang jelas?” Surat 57:9, 26:195, dll.]

    ReplyDelete
  10. Ibn Hisham telah menulis:

    “Khadijah mengatakan kepada Muhammad, apakah engkau dapat mengatakan kepadaku tatkala kawan yang mengunjungimu (ruh/ Jibril) itu datang? Muhammad menjawab, ”Ya”. Ketika dia datang, Muhammad memberitahukan kepada Khadijah. Khadijah berkata lagi ”Apakah engkau melihatnya sekarang”? Muhammad menjawab, ”Ya”. Dia mengatakan, berbaliklah dan duduk di paha sebelah kananku. Muhammad pun melakukannya. Dia mengatakan kepadanya, ”apakah engkau masih dapat melihatnya”? Muhammad menjawab, ”Ya”. Khadija kecewa dan membuka kijabnya dan melemparkannya ke bawah, saat Muhammad sedang duduk di pangkuannya, Khadijah berkata kepada Muhammad: ”Apakah engkau masih dapat melihatnya”? Dan Muhammad menjawabnya, ”Tidak”. Khadijah berkata kepadanya: ”Yakin dan bersukacitalah, demi Allah, dia adalah malaikat dan bukan setan, karena setan tidak akan malu (dan menghilang jika wanita membuka baju), tidak seperti malaikat.”

    [12] [13] Ini adalah ujian dari Khadijah untuk memastikan bahwa Muhammad adalah seorang nabi, dan bayangan tersebut adalah malaikat, bukan setan. Masuk akalkah ini?!

    Semua nabi-nabi terdahulu tidak perlu diyakinkan mengenai wahyu dari Tuhan. Lalu mengapa cerita tersebut dibutuhkan untuk memastikan pemanggilan Muhammad sebagai nabi? Tidakkah Tuhan dapat memberikan semua pengetahuan tersebut kepada nabinya tanpa cerita-cerita dongeng yang aneh-aneh? Saya melihat keganjilan lainnya. Mengapa ruh yang diutus menurunkan wahyu itu harus mencekiknya hingga hampir mati, tiga kali? Cerita itu menimbulkan banyak pertanyaan dan keanehan.

    *[Dan lagi, sebetulnya apa perlunya penyampaian teks tersebut harus mati-matian dipaksa baca oleh Muhammad yang memang ummi itu? Bukankah Qur’an sendiri diyakini diturunkan dengan ayat-ayat yang “terang”, dengan “lidah Arab yang jelas?” Surat 57:9, 26:195, dll.]

    Al-Halabi mencatat:

    “Setiap kali (bagian dari) Al-Qur’an turun kepada Muhammad, dia akan pingsan setelah sebelumnya dia gemetar dan merinding. Matanya tertutup dan mukanya letih dan dia akan mendengkur seperti unta. Hal-hal tersebut terjadi kepadanya sebelum pewahyuan turun kepadanya. Mereka juga berusaha melindunginya dari mantra si mata jahat.”

    Dia juga mencatat:

    “Pada waktu wahyu turun kepadanya, dahi Muhammad akan berlumuran keringat, bahkan pada hari-hari dingin, dan matanya akan menjadi merah seperti orang mabuk. Muhammad biasa mengatakan, Setiap kali saya menerima wahyu, aku berpikir bahwa aku akan mati.”

    Setiap dokter cenderung memastikan bahwa hal-hal tersebut adalah tanda-tanda penyakit epilepsi. Mengapa seorang nabi besar mendapatkan serangan sejenis epilepsi ketika sebuah wahyu turun kepadanya? Yang seharusnya terjadi dalam setiap penampakan selayaknyalah kedamaian, suka cita, keyakinan dan kepercayaan. Dapatkah kita belajar mengenai sifat asli dari “Jibril,” yang justru memberikan dampak buruk seperti yang dirasakan oleh Muhammad?

    Namun, apakah seorang malaikat benar-benar muncul di hadapan Muhammad? Atau itu adalah ciptaan imajinasinya sendiri? Saya yakin itu bukan malaikat. Pertama, malaikat Tuhan membawa damai sejahtera bukan ketakutan! Sebagai contoh, ketika malaikat datang ke Maria untuk menyampaikan berita tentang kelahiran dari Kristus, hal pertama yang dia katakan adalah, “Damai sejahtera atasmu.” Maria dipenuhi dengan kedamaian, iman dan suka cita. Dia tidak dicekik, ataupun mengalami pengalaman yang aneh-aneh, sakit kepala dan mata berputar-putar. Malaikat asli datang dengan kedamaian, bukan dengan gejala epilepsi!

    Kedua

    *[malahan digambarkan disitu bahwa ”Jibril” berkeliaran tanpa menurunkan wahyu atau entah apa kerjanya secara khusus. Bukankah kehadirannya tidak akan sembarangan, melainkan penuh makna, khidmat dan berotoritas? Dan bukan asal-asalan – bahkan tidak senonoh – seperti yang didongengkan itu? (Lihat Qs.53:4-14)]

    Malaikat macam apa yang tidak menyadari hal sekecil ini?

    ReplyDelete
  11. Ketiga

    2. 23 Kali Pernikahan Muhammad

    Sebelum saya memasuki topik ini, fakta-fakta berikut harus terlebih dahulu diutarakan. Muhamad mengatakan: “Aku hanya manusia biasa seperti kamu.”

    Al-Qur’an menyatakan bahwa Muhammad hanya seorang rasul, walaupun kaum Muslim menganggap dia sebagai seorang nabi agung. Namun dia dianggap seperti orang yang hidup dan mati sama seperti orang lain. Dengan kata lain, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad tidak memberikannya karakteristik khusus, yang membedakan dirinya dengan manusia lain. Namun sangat aneh dan bertolak belakang, bahwa tiba-tiba Al-Qur’an memang membedakan diri Muhammad, dengan memberikannya lebih banyak hak keistimewaan dan sedikit kewajiban.

    Sebagai contoh, Al-Qur’an memberikan kaum Muslim hak untuk menikahi maksimum empat orang istri. Namun Al-Qur’an menyatakan:

    “Wahai, Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu”

    Allah tidak cukup puas dengan hanya memberikan Muhammad banyak istri, dia juga memberikannya carte blanche (kewenangan penuh) untuk melakukan apapun yang dia inginkan dalam soal kawin-mawin ini. Allah tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahinya, sebagaimana yang dia perintahkan ke kaum Muslim lainnya. Namun, dia memberikan dirinya sendiri hak untuk mengambil wanita manapun yang diinginkannya, bahkan yang telah menikah, iapun masih memaksa si suami untuk meceraikan istrinya, ketika sang nabi menginginkan si wanita tersebut.

    Salah satu ulama Muslim yang terkenal, Burhan El-Deen Al-Halabi, membahas hak-hak khusus dari Muhammad dalam bukunya yang terkenal, Al-Sira Al-Halabia. Al-Halabi mengatakan:

    “Jika Muhammad menginginkan wanita yang belum menikah, dia mempunyai hak untuk memasukinya (menikahinya) tanpa upacara pernikahan dan tanpa saksi atau wali. Persetujuan wanita itu juga tidak diperlukan. Namun, jika wanita tersebut sudah menikah dan Muhammad menunjukkan keinginannya terhadap dirinya, adalah sebuah keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya, agar Muhammad dapat menikahinya. Muhammad juga mempunyai hak untuk memberikan wanita yang dinikahinya itu kepada lelaki manapun yang ia pilih, tanpa persetujuan wanita tersebut. Dia bahkan juga dapat menikah pada musim lebaran, sebagaimana yang dia lakukan dengan Maimunah. Dia juga mempunyai hak untuk memilih dari para tawanan, siapapun yang dia inginkan, sebelum pembagian hasil jarahan perang.”

    “Muhammad mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa, demikian pula Al-Qur’an.” Lantas, bagaimana ia kemudian memberikan dirinya sendiri HAK yang begitu berlebihan? Sangat jauh dari perilaku Tuhan untuk menerima ketidak-adilan seperti itu, atau untuk menyetujui penghinaan seperti ini. Mungkinkah itu perilaku dari sang nabi besar penutup segala nabi? Namun ada Nabi lain (Isa Al-Masih) yang banyak disebut-sebut oleh Muhammad dalam Al-Qur’an justru menyatakan dalam ajarannya: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Matius 5:28) Bagaimana Anda melihat perbedaan yang luar biasa ini?!!!

    Mengapa Allah memberikan Muhammad hak untuk bernafsu, menceraikan dan menikah, sedangkan dia tidak memberikan hak-hak tersebut kepada nabi-nabi yang lain? Tuhan yang Sejati tidak akan memberikan pengecualian atas hukum moral-Nya kepada siapapun.

    ReplyDelete
  12. Ketika Muhammad ditanyakan mengenai ini, dia berkata “jibril” adalah saksinya. Kasihan “jibril”, tidakkah dia secara tidak adil ditunjuk, dipakai dan disalah-gunakan? Walaupun jika “jibril” dianggap sebagai saksi dalam pernikahan Muhammad, dimanakah saksi kedua yang dipersyaratkan oleh syariat Islam? Mengapa kita tidak melihat tanda tangannya dalam perjanjian pernikahannya? Dimanakah wali yang disyaratkan? Tidakkah persyaratan pernikahan dalam ajaran Islam diperlukan ketika Muhammad menikah? Bagaimana, wahai saudaraku Muslim melihat semua ini?

    Allah memberikan Muhammad hak-hak khusus… dan tidak hanya dalam hal pernikahan sah nya saja. Tetapi Muhammad juga mempunyai “hak secara sah” atas semua wanita dalam arti kata yang sesungguhnya dan tidak ada seorang Muslim pun yang dapat membantah! Karena ketika timbul sebuah pertanyaan yang diajukan, maka “Jibril”pun turun dari surga dengan membawa ayat yang membenarkan tindakan-tindakan Muhammad.

    Sangat penting untuk menyebutkan bahwa Muhammad berhubungan dengan tiga puluh orang wanita lebih, namun dikatakan bahwa dia menikah secara sah hanya dengan dua puluh tiga wanita. Bahkan para pengiringnya, enam diantaranya telah menawarkan diri mereka kepada sang nabi, namun hanya empat yang diinginkan.

    1. Khadijah bint Khuwailid

    [23] Ini tentu masuk akal, tetapi juga mengingat akan kemiskinannya. Empat orang anak perempuan lahir dari pernikahan pertamanya dengan Khadijah.[24] Ahli sejarah Muslim lain yang melaporkan fakta tersebut juga menyepakati bahwa Khawlah, anak perempuan Hakim Al-Silmiya bertanya kepada Muhammad: “Apakah engkau ingin menikahi seorang perawan atau seorang bukan perawan?” Khawlah mengatakan kepadanya: “Seorang perawan adalah Aisyah dan seorang bukan perawan adalah Sawda bint Zam’a; ambillah siapapun yang engkau inginkan.” Sang nabi menjawab, “Saya akan menikahi keduanya. Katakan kepada mereka.” Khawlah melakukannya dan Muhammad menikahi keduanya.[25]

    Istri pertama Muhammad adalah Khadijah, anak dari Khuwailid. Dia adalah wanita yang cukup dikenal di Mekah, janda kaya yang mewarisi kekayannya dari suaminya. Ketika dinikahi Muhammad, umurnya 40-an dan Muhammad berumur 25 tahunan. Alasan pernikahan mereka cukup jelas. Muhammad miskin, dan pamannya, Abu Talib, menjadi walinya setelah kematian kakeknya, lebih miskin. Dengan alasan ini, Muhammad tidak dapat menikah, walaupun dia terlambat 5 tahunan dari lazimnya orang yang menikah pada umur 20 tahun. Pernikahan Muhammad dengan Khadijah dilakukan dengan mediasi dari Naufal, paman dari Khadijah dengan beberapa persyaratan pra-nikah termasuk menikah di dalam gereja. Pamannya, Abu Talib, sepakat terhadap persyaratan-persyaratan tersebut dan mengatakan “Terpujilah Allah yang mengambil kesusahaan kita dan menghilangkan kekhawatiran kita.” maksudnya bebas dari kemiskinan!

    Ketika saya memasuki SMA, guru-guru agama selalu mengatakan bahwa Muhammad menikah dengan banyak wanita, untuk menguatkan Islam, untuk memperkayanya dengan darah suku yang baru dan untuk menguatkan hubungan antara kaum Muslim. Sangat jelas bagi saya dan murid lainnya bahwa guru-guru itu berbohong; dan asal bunyi saja! Mereka hanya mengulang apa yang dikatakan pendahulu-pendahulu mereka. Namun, kita mempelajari (dan akan diperlihatkan disini) bahwa tidak ada satupun pernikahan Muhammad yang sesuai dengan kesaksian guru-guru itu. Bahkan sebaliknya, semua pernikahan itu didasarkan pada keinginan pribadi dan hanya untuk memenuhi nafsunya, entah itu untuk uang, sebagaimana dengan Khadijah atau untuk kepuasan birahi seks. Apakah karakter demikian pantas disebut nabi besar?!!!

    Dr. Aisha Abdul Rahman (dikenal dengan nama bint Al-Shati’) mengatakan dalam bukunya, The Wives of the Prophet (Istri-Istri Sang Nabi): “Muhammad menemukan di dalam Khadijah, belas kasih seorang ibu yang tidak dia dapatkan pada masa kecilnya.”

    ReplyDelete
  13. siap" jd kayu bakar neraka low gk tobat

    ReplyDelete

Think before comments..